Senin, 03 September 2007

Best Practice Sebagai Upaya Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender

Jurnalis :Eko Bambang S

Jurnalperempuan.com-Jakarta. Supaya langkah advokasi anggaran berkeadilan gender dapat berjalan dengan baik, maka salah satu cara yang paling efektif adalah dengan menciptakan sebanyak mungkin best practice dari model penganggaran yang baik sehingga memberi peluang bagi terakomodasinya anggaran berkeadilan gender. Demikian pendapat yang disampaikan oleh Alexander Irwan dari Yayasan Tifa, dalam seminar Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender, Upaya Menuju Kesejahteraan Perempuan, yang diselenggarakan oleh Women Research Institute di Jakarta, Selasa (13/09/05).

Dalam kesempatan itu, Alexander Irwan menawar beberapa best practice yang dapat dilakukan dalam advokasi anggaran. Best Practice 1 adalah dengan menjaga prosedur bottom up planning supaya perempuan berpartisipasi dalam planning dan budgeting melalui proses Musrenbang. Hal ini berarti advokasi anggaran menurut Alexander harus memperhatikan bagaimana mekanisme Musrenbang dan harus mengawalnya dari Musrebang ditingkat yang paling rendah yaitu Desa/Kecamatan. Setelah tingkat desa/kelurahan Musrebang berikutnya yang perlu dikawal adalah tingkat Kecamatan, selanjutnya dalam Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten/Kota. Forum SKPD ini melakukan sinkronisasi prioritas kegiatan pembangunan dari berbagai kecamatan dengan Rancangan Rencana Kerja SKPD. Dari Forum SKPD ini RKPD yang memuat prioritas pembangunan daerah disempurnakan dalam Musrenbang Kabupaten/Kota. Dari Musrenbang Kabupaten/Kota tahap berikutnya adalah Paska Musrenbang Kabupaten/Kota yang akan melihat konsistensi antara hasil Musrenbang dengan RKPD, konsistensi antara hasil perencanaan dengan penganggaran (APBD). Pada tahap inilah best practice menyangkut advokasi anggaran akan bermanfaat dan menentukan apakah anggaran berkeadilan gender akan diakomodasi atau tidak.

Best Practice 2 yang juga bisa dilakukan adalah memanfaatkan anggaran rutin untuk peningkatan kapasitas pegawai perempuan dan kapasitas pegawai umumnya dalam sosialisasi pengarusutamaan gender. Best Practice 3 dapat pula dilakukan dengan memperbesar kue Anggaran Pembangunan yang akan diperebutkan untuk gender budgeting dalam bentuk program. Menurut Alexander irwan, alokasi Anggaran Rutin versus Anggaran Pembangunan di Kabupaten Jembrana merupakan sebuah best practice yang bisa di replikasi oleh daerah-daerah lain.

Menurut Alexander, APBD Kabupaten Jembarana tahun 2003 sebesar Rp. 233.551.943.745,70. Dari APBD tersebut, Anggaran Rutin dialokasikan sebesar Rp. 126.299.919.054,70 atau sebesar 54,07% dan Anggraran Pembangunannya sebesar Rp.107.252.024.691,00 atau sebesar 45,93%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa nilai anggaran yang diperebutkan untuk gender budgeting adalah 45,93%. Jumlah ini tentunya cukup besar peluangnya untuk mencari peluang masuknya gender budgeting daripada nilai Anggaran Pembangunan kota Solo yang hanya sebesar 11% dari total APBD Solo yaitu tahun 2005 sebesar Rp.357.540.351.068. Sementara itu anggaran rutinnya malah besar yaitu 89%.

Best Practice 4 yang bisa dilakukan adalah mengadvokasi agar alokasi APBD bisa efisien dan mencapai target melalui efisiensi alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan. Selanjutnya Best Practice 5 adalah mencari sumber pendanaan lain dari APBN yang direbut dan dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan. Menurut Alexander, dana kompensasi kenaikan BBM seharusnya bisa dijadikan best practice untuk perebutan dana bagi alokasi gender budgetting. Dari kenaikan harga BBM bulan Maret 2005, jumlah dana yang dipakai untuk kompensasi Subsidi BBM bverjumlah Rp.12.5 trilyun sanpai 13.5 trilyun. Apabila Dana Kompensasi Subsidi BBM ini dibagikan secara merata ke seluruh 461 kabupaten/kota, setiap kabupaten/kota akan menerima sekitar Rp.27 milyar. Terhadap dana yang bergulir itu bagaimana bisa mengalokasikannya untuk mengurangi kemiskinan di kalangan kelompok-kelompok masyarakat, secara khusus perempuan.

Meskipun best practice ini akan sangat efektif untuk mengadvokasi anggaran berkeadilan gender, namun diharapkan sosio politik masing-masing daerah berbeda-beda, sehingga tidak selalu best practice satu daerah akan bisa dilakukan di daerah lain karena benturan-benturan sosio politik tadi. Untuk itu menurut Alexander perlu banyak sekali best practice yang dihasilkan, sehingga semakin banyak contoh best practice yang bisa digunakan.

Tidak ada komentar: